SIKAP ORANG BERIMAN DALAM MENGHADAPI COVID-19
April 14, 2020
SIKAP ORANG BERIMAN DALAM MENGHADAPI COVID-19
Oleh Megi Saputra, S.H.
Me-lockdown wilayah/tempat atau cara lain yang berupa pembatasan
akses dan interasi orang banyak, terpaksa dilakukan untuk menghindari meluasnya
penularan Covid-19. Hal tersebut bahkan dilakukan oleh negara-negara maju dalam
teknologi dan kesehatanya terjamin. Seperti
Italia, Amerika, Inggris, Prancis, Belanda, tarmasul wilayah Asia diantaranya
Filifina, Malaysia, India dan lainya termasuk Arab Saudi. Bahkan Arab Saudi
tidak hanya me-lockdown negara tetapi juga menutup Akses beribadah ke
Masjid Nabawi dan Masjid Haram. Di Indonesia meski belum sampai pada perintah lockdown
namun, berbagai upaya dilakukan pemerintah dan otoritas keagamaan, agar memutus
rantai penyebaran Covid-19. Termasuk pemerintah menganjurkan untuk beribadah di
rumah, masjid dan tempat-tempat kegiatan ditutup sementara. Meniadakan sholat jumat,
pengajian dan sholat berjamaah. Mengenai penutupan tempat ibadah dan peniadaan
sholat jum’at serta kegiatan-kegiatan yang berpusat dimasjid. Ada diantara umat
islam yang gagal faham, menganggap hal tersebut menentang perintah Allah atau
mengangap hal tersebut adalah perbuatan dosa. Ada juga yang mengkampanyekan
bahwa urusan mati ditangan Allah baik dengan adanya Covid-19 atau tidak maka
jangan tinggalkan masjid. Pernyatan tersebut memang benar namun, diungkapkan
ditengah situasi penyebaran virus yang ganas, yang mengancam diri dan orang
banyak. Untuk itu mari kita memahami dan
memahami semua dengan baik, serta meletakkan sesuatu secara adil dan benar.
Ustad Fahmi Salim yang merupakan wakil ketua komisi fatwa MUI pusat
sekaligusWakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, menyebutkan dalam
tulisanya umat islam saat menghadapi pandemi ini ada yang terkena sindrom
“MABUK BERAGAMA”, menganggap keshalihan ibadah hanya bisa diwujudkan dengan
berjamah di masjid. Padahal Imam Syafi’i saja sangat menghormati profesi dan
otoritas dokter dan mengikuti hasil kajian medis dalam fatwa-fatwanya. “ saya
tidak mengetahui sebuah ilmu halal-haram yang lebih berharga yaitu ilmu
kedokteran, akan tetapi ahli kitab telah mengalahkan kita” ( Siyar A’lam
An-Nubula, 8/528, Drul Hadits).
Diantara yang harus kita perhatikan sebagai muslim dalam menghadapi
wabah Covid-19 adalah:
1.
Diantara
tujuan syari’ah yang dikenal dengan “al-maqashid al-syari’ah” yang
dikembangkan oleh Imam Al-Ghazali dan Asyathibi adalah menjaga diri manusia
dari ancaman atau hal-hal tertentu yang membahayakan diri manusia (hifdzun
nafs). Maka dari tujuan syari’ah ini yang bisa kita tegaskan adalah menjaga
diri manusia lebih diutamakan dari pada mengamalkan syria’ah itu sendiri,
ketika kita mengetahui bahwa pelaksanan syari’ah itu mengancam keselamatan
manusia. Karena prinsip syairi’ah itu mengerjakan sesuatu sesuai kemampuan
diri, bisa ditunda atau digantikan sesuai petunjuk yang telah ada dari
sumber-sumber syari’ah.
2.
Qaidah
Fiqiyah menyebutkan “ad-dorurotu tubihul mahzuurot” yaitu dalam hal
terjadi keadaan darurat maka ada
kemudahan (rukhsah) dalam pelaksanan sesuatu amal syari’ah.
Artinya keadaan darurat menjadi sebab ditangguhkannnya atau mungkin menjadi
gugur kewajiban melakukan amal-amal atau suatu perintah, hingga keadaan kembali
menjadi normal. Tentunya ibadah yang dimaksudkan adalah ibadah-ibadah
dikhawatirkan jika dilakukan akan menambah parah penyebaran Covid-19. Adapun
ibadah-ibadah yang tidak mengumpulkan banyak orang, tetap kita lakukan secara
normal dengan keluarga atau sendirian.
Dari kedua penjelasan diatas maka
kita bisa mengambil garis besar bahwa saat terjadi hal-hal yang mengancam
keselamtan manusia yakni Covid-19 yang sedang mengancam kehidupan manusia di
seluruh dunia, menyebar dengan sangat cepat dalam 3-4 bulan terakhir setidaknya
sudah 212 negara yang terjangkit virus ini dengan kasus terkonfirmasi 1.439.516
per 10 April 2020 pada situs COVID.GO.ID, sebagai seorang muslim tentunya kita
harus bijak bersikap, karena beramal dalam agama ini tidak hanya sebatas dalam
masjid kita atau kelompok pengajian tertentu yang mengumpulkan banyak orang. Sikap
kita bagi seorang mukmin adalah:
1.
Dalam
menyikapi polemik ditiadakannya sholat jum’at, Sholat jum’at bagi daerah yang
sudah menyatakan tanggap darurat Covid-19 maka seabiknya meniadakan sholat
jum’at sementara waktu, diganti dengan sholat zuhur berjamaah di rumah. Hal
demikian dilakukan semata-mata menghindarkan dari terbukanya cela penularan
virus lebih banyak lagi, karena pelaksanan sholat jum’at sifatnya mengumpulkan
banyak orang.
2.
Sholat
idul fitri hukumnya sunnah muakkadah, jadi pelaksanaanya tidak wajib dilakukan.
Hal ini juga didasarkan atas alasan pelaksanaan sholat 5 waktudi masjid,
seorang boleh tidak kemasjid ketika terpenihi Dur syar’i, dainatranya ketika
makanan telah di hidangkan atau ketika ingin buang hajat. Hal-hal tersebut
tidak sampai mengancam nyawa , apalagi Covid-19 ini yang jelas-jelas mengancam
hidup seseorang bahkan orang banyak.
Oleh karena itu kita perlu melakukan langkah-langkah sebagai bentuk
ikhtiar dan tawakal kita :
1.
Berserahlah
kepada Allah, perbanyak istigfar atau memohon pemgampunan, perbanyak ibadah
kita dan perkuat doa-doa kita.
2.
Ikuti
fatwa-fatwa Ulama yang kredibel contohnya MUI, Majelis Tarjih Muhammadiyah dll.
3.
Pelaksanaan
ibadah yang sifatnya berjamaah atau berkumpulnya banyak orang, maka ikuti
arahan para Ulama, juga ketentuan protokol pemerindah Indonesia terkait
pencegahan meyebarnya Covid-19.
4.
Tidak
perlu bimbang dan ragu laksanakan ibadah dan amal-amal syari’ah sesuai dengan
petunjuk ulama, karena merekalah orang-orang yang sangat mengerti sumber-sumber
pelaksanaan ibadah itu sendiri.
5.
Berfikirlah
bahwa masjid atau tempat kita berjamaah mengamalkan syari’ah yang mulia, harus
menjadi tempat yang pertama sebagai pemutus rantai Covid-19. Sebagaimana masjid
bisa menjadi pusat kehidupan dan peradaban.
6.
Segala
bentuk usaha untuk mencegah penularan Covid-19 merupakan bentuk ibadah yang
bernilai jihad. Sebaliknya, seluruh tindakan sengaja dan atau menyepelekan
wabah Covid-19 sehingga membahayakan dirinya dan membawa resik penularan
merupakan tindakan buruk dan Dzalim. ( Edaran PP Muhamadiyah, Nomor
03/I.0/B/2020).
“Insan beriman diuji sikap hidupnya di kala musibah. Jadikan iman
sebagai landasan ikhtiar dan tawakal tanpa terjebak pada keangkuhan atau
sebaliknya jatuh diri.” ( Prof. Dr.
Haedar Nashir, M.Si).
0 komentar