MAKALAH USHUL FIQH

Maret 02, 2020


BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Dalam menghadapi Dalam menghadapi kehidupan moderen yang syarat dengan berbagai kemajuaan dan canggihnya teknologi selain manfaat bagi kemudahan manusia dalam beraktivitas, seperti biasa kemajuaan teknologi juga membawa dampak negatif bagi kehidupan hingga memunculakn berbagai masalah kontemporer yang kompleks. Dengan teknologi rasanya tidak ada lagi sekat yang dapat memisahkan orang untuk mengetahui dan mendapatkan apa saja, bahkan tidak jarang kita rasakan kemajuan teknologi membuat orang berlaku egoistik dan materialistik, tidak lagi menganggap penting eksistensi agamanya dalam menjalankan kehidupan sementara kita semua mengetahui bahwa Sesungguhnya tiada kehidupan terbaik selain kehidupan keislaman, tiada aturan terbaik selain islam, tiada naungan terbaik selain  islam, tiada persaudaraan terbaik selain didasari nilai-nilai islam, tiada waktu terbaik selain waktu yang digunakan untuk kemulian dan loyalitas terhadap islam. Islam tidak boleh kita nomorduakan hanya karena urusan kita didunia yang sesaat ini, islam harus menjadi bagian dari kehidupan kita, bagai nafas yang Allah helakkan untuk kita tak sanggup bertahan jika sedetik saja nafas itu lepas dari tenggorokan kita. Islam harus menjadi control dan pengawasan terhadap kita, karena pada hakekatnya kebahagian kita saat ini sesungguhnya adalah sesaat saja sedang islam akan membawa kita kepada kesenangan yang hakiki di dunia wal akhirat. Islam harus kita jaga kemuliaan dan ketinggiannya tidak boleh kita samakan dengan agama selain islam sebagaimana kita tidak boleh menyamakan langit dan bumi yang tersimpan sejuta perbedaan apalagi dilupakan dengan hadirnya kemajuaan. Islam harus menjadi hujjah, pedoman dan petunjuk jalan kehipuan kita didunia hingga akhir hayat.
Untuk melaksanakan atau berislam secara kaffah, kita harus belajar dan mengetahui sumber-sumber dari pada ajaran islam itu sendiri, agara dalam berislam tidak hanya sekedar seorang islam tetapi islam yang baik, yang memahami setiap problem sulit dan cara islam menyelesaikannya. Adapaun sumber dari pada ajran islam itu sendiri yang paling utama adalah Alquran (kitabullah) dan Hadits ( sunnah nabi muhammad saw) selain sumber diatas ada beberapa sumber ajaran islam yang disepakati oleh para ulama untuk menyelesaikan masalah kontemporer yang belum dijelaskan secara rinci didalam Quran dan hadist nabi, namun tetap merujuk kepada pedoman yang utama diantara nya adalah: qiyas, urf, mashlaha mursalah, istihsan dan lain sebagainya, hal tersebut sangat penting untuk menghadapi berbagai problem dalam kehidupan moderen saat ini. Islam sebagai agama yang menjadi naungan kehidupan ummat manusia telah menetapkan aturan apa saja yang menjadi tujuaan kehidupan manusia agar berbagai kemajuaan menjadi sarana untuk beribadah sebanyak-banyaknya bukan membuat dosa sepuas-puasnya, karena itu penting sekali bagi kita mengetahui ajaran islam dari sumbernya. 

B.RUMUSAN MASALAH
1.Mejelaskan tentang QIYAS?
2. Mejelaskan tentang ISTIHSAN?
3. Mejelaskan tentang ISTIHLAH/MASHLAHA MURSALAH?
4. Mejelaskan tentang URF’?
5. Mejelaskan tentang SADD DZARI’AH?



 
BAB II
PEMBAHASAN
1. QIYAS
Pengertiaan
            Qiyas berasal dari kata “qasa, yaqisu, qaisan” artinya mengukur dan ukuran. Kata qiyas diartikan ukuran sukatan, timbangan, dan lain-lain yang searti dengan itu, atau pengukuran sesuatu dengan yang lainnya, atau penyamaan sesuatu denganyang sejenisnya, misalnya kalimat:
ia telah mengukur sesuatu dengan lainnya atas lainnya[1]
            Qiyas juga diartikan dengan “at-taqdir wa al-taswiyah” artinya menduga dan mempersamakan. Qiyas dinamakan juga dengan alasan adanya ‘illat hukum.
            Menurut ulama ushul fiqh, Al qiyas berarti menyamakan sesuatu kejadiaan yang tidak ada nash kepada kejadiaan lain yang ada nasmya pada nash hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan diantara dua kejadian itu dalam illat (seaba terjadinya) hukumnya.
            Karenanyajika nash telah memberi petunjuk hukum mengenai suatu kejadiaan dan illat hukumnya pun telah diketahui dengan cara-cara yang telah ditentukan untuk mengetahui illat hukum, kemudiaan illat dalam nash itu, makakejadiaan tersebut harus disamakan dengan kejadian yang ada nashnya pada illat yang seperti illat hukum dalam suatu kejadian. Juga kejadian lain itu harus disamakan dengan kejadian yang ada nashnya dalam hukum berdasarkan penyaman dau kejadiaan itu dalam hal illatnya. Sebab hukum tersebut dapat diketahui setelah diketahui illatnya.
            Contoh qiyas untuk memperjelas definisi diatas:
Masalah minum khamar, merupakan suatu perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan dalam nash. Hukumnya adalah haram berdasarkan pengertiaan ayat
“...sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syithon. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu.” (QS Almaidah Ayat 90).
Dalam ayat tersebut ada illat memabukkan. Oleh karena itu, setiap minuman yang terdapat illat memabukkan, hukumnya sama dengan khamar, dan haram meminumnya.[2]
            Imam Alghazali mengartikan dalam mustashfah qiyas“ menanggungkan sasuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum dari keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”
Kehujjahan qiyas
            Dalam kehujaan atau penerimaan ulama terhadap qiyas debagai dalail hukum syara’ Muhammad abu zahroh membagi menjadi 3 kelompok yaitu;
1.Kelompok jumhur ulama yang menjadikan qiyas sebagai dalil syara’. Mereka menggunakan qiyas dala hal-hal tidak terdapat hukumnya dalam nash Quran atau sunnah dan dalam ijma ulama, mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak melebihi batas kewajaran. Dianatar dalil Quran yang dijadika dasar bagi jumhur diantaranya:
“dialaha yang mengeluarkan orang-orang kafair diantara ahlil kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran pertama kali. Kamu tidak menyangka bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat memperthankan mereka dari siksaan Allah maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah melemparkan ketakutan kedalam hati mereka, mereka memusnakan rumah-rumah dengan tanganmereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah (kejadiaan itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan yang dalam”.(QS.Al Hasyar 2).
2.Kelompok ulama dzahiriyah dan syi’ah imamiyah yang menolak pengunaan qiyas secara mutlak. Dzahiriyah juga menolak penemuaan ‘illat diatas suatu hukum dan menganggap tidak perlu mengetahui tujuaan ditetapkanmya suatu hukum syara.
3.Kelompok yang mengunakan qiyas secara mudah dan luas, merekapun berusaha mengabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan illat diantara keduannya. Kadang-kadang memberi kekuatan yang lebih tinggi terhadap qiyas, sehingga qiyas itu membatasi keumuman sebagian ayat Alquraan atau sunnah.[3]
Syarat-syarat qiyas
            Untuk melakukan qiyas terhadap sesuatu masalah yang belum ada ketentuanya dalam Alquran dan hadist harus memnuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.Hendaknya hukum asal tidak berubah-ubah atau belum dinasakhkan artinya hukum yang tetap berlaku
2.Asal serta hukumnya sudah ada ketentuaan yang menurut agama artinya sudah ada menurut ketegasan Quran dan hadist.
3.Hendaklah hukum yang berlaku pada asal berlaku pula qiyas, artinya hukum asal itu dapat diperlakukan pada qiyas.
4.Tidak boleh hukum furu’ (cabang) terdahulu dari hukum asal, karena untuk menetapkan hukum berdasarkan kepda illatnya (sebab).
5.Hendaknya sama illat yang ada pada furu’ dengan illat yang ada pada asal
6.Hukum yang ada pada furu’ hendaklah sama dengan hukum yang ada pada asal. Artinya tidak boleh hukum furu’ menyalahi hukum asal
7.Tiap-tiap ada illat ada hukum dan tidak ada illat tidak ada hukum. Artinya illat itu selalu ada.
8.Tidak boleh illat itu bertentangan menurut ketentuaan-ketentuaan agama, artinya tidak boleh menyalahi Alquran dan Sunnah.
Rukun qiyas
1.Al-Ashl, ialah sesuatu yang hukumnya terdapatdalam nash biasa  disebut sebagai Al-maqis ‘alaih ( yang dipakai sebagai ukuran) atau mahmul ‘alaih (yang dipakai sebagai tangungaan) atau masyabahbih (yang dipkai sebagai penyerupaan).
2.Al-Far’u, adalah sesuatu yang hukumnya tidak terdapat didalam nash, dan hukumnya disamakan kepada Al-ashl. Alfar’u biasa disebut sebagai Almaqis (yang diukur) atau Al mahmul( yang dibawa) atau masyabah (yang disamakan).
3.Hukmu ‘i-Ashl, adalah hukum syara’ yang terdapat nashnya menurut Al ashl, dan dipakai sebagai hukum asal bagi cabang (Al -far’u)
4.Al-‘Illat adalah keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar bagi hukum ashal (asal), kemudiaan cabang (Al fAr’u) itu disamakan kepada asal dalam hal hukumnya.
Macam-macam Qiyas
1.Qiyas Dalalah, adalah illat yang ada pada qiyas menjadi dalil alasan bagi hukum tetapi tidak diwajibkan baginya (furu’) seperti mengqiyaskan wajib zakat pada harta anak-anak kepada harta orang dewasa yang telah mencapai nisab, tetapi bagi anak-anak tidak wajid mengeluarkan zakatnya diqiyaskan kepada haji tidak diwajibkan bagi anak-anak.
2.Qiyas syabah, yaitu menjadikan qiyas (furu’) dikembalikan kepada dua asal yang lebih banyak persamaan antara keduanya. Seperti mengqiyaskan budak dengan orang merdeka.
3.Qiyas adwan, yaitu nebgqiyaskan (furu’) terhimpun pada hukum yang ada pada tempat mengqiyaskan, seperti memgqiyaskan memakai perak bagi laki-laki kepada memakai emas.
2.ISTIHSAN
            Secara etimologi istihsan berarti menganggap baik tehadap sesuatau. Menurut istilah ulam ushul fiqh istihsan adalah pindahnya seorang mujahid dari tunttan kyas jali (nyata) kepada qiyas khafi (samar) atau dari dalil kulli kepada hukum takhsish lantaran terdapat dalalil yang menyebabkan mutahid mengalihkan hasil fikirannya dan mementintangkan perpindahan hukum.
            Karenanya jiak terdapat suatu kejadiaan yang tidak ada mash hukumnya, maak dalam pembahasanya ada dua segi yang salimg berlawanan:
1.      Segi dzahir yang menghendaki adanya suatu hukum.
2.      Segi khafi (tak tampak) yang menghendaki adanya hukum lain
Dalam hal ini,pada diri mujtahid ada dalil yang lebih yang lebih mendahukan pandangan khafi namun ia pindah kepada pandangan yang dzahir, menurut syara hal itu disebut istihsanbegitu juga jika ada hukum kulli pada diri mujtahid, namun ia menghendaki adanya dalil juz’iyyah dari hukum kulli, dan memberikan ketetapan hukum kepada juz’iyyah, menurut syara’ hal ini juga disebut istihsan.

Macam-macam Istihsan
1.Mengutamakan atau memenagkan qiyas khafi dari pada qiyas jali berdasarkan dalil. Contoh nash fuqoha hanafiyah jika seorang wakif mewakafkan sebidang tanah pertanian maka termasuk didakam wakaf itu hak perairan, aiar minum,hak lewat dengan konsekuensi ringan yang tidak disebut berdasarkan istihsan, tetapi menurut qiyas hal itu tidak termasuk wakaf melainkan jika terdapat nash.
2.Mengecualikan juz’iyah dari pada hukum kully berdasarkan dalil. Contoh syar’i telah melarang mengadakan penjualan atau perjanjiaan aqad terhadap barang yang tidak terdapat ditempat aqad. Tetapi melalui metode istihsan perbuatan tersebut dibolehkan melaui jalan pesanan, akad atau perjanjian sewa, atau pengelolaan tanah ladang untuk ditanami denga sistem bagi hasil, perjanjian pengairan dan perjanjian permohonan kerja (menyangkut kebutuhan manusia yang sudah saling mengenal).
            Adapun kehujjahan pengunaan istihsan kebanyakan adalah ulama hanafiyah. Alasan mereka terhadap dipakainya istihsan sebagai hujjah adalah bahwa istidlal dengan jalan istihsan hanya di utamakn dari qiyas jalli, atau merupkan kemenangan atau merupkan istidlal dengan jaln mashlaha mursalah terhadap pengecualian hukum kuli. Ada sebagian mujtahid yang menolak pengunaan metode istihsan sebagai istimbat hukum syara’ yang didasarkan kemauan hawa nafsu yang seenaknya. Tokoh yang menolak istihsan ini adalah imam syafi’i, yang mengatakan “siapapun ynag mengunakan istihsan berati telah membuat syriat.
3.ISTIHLAH/MASHLAHA MURSALAH
            Kata mashlaha berarti kepentingan hidup manusia. Adapun kata mursalah sesuatu yang tidak ada ketentuaan nash syariat yang menguatkan atau membatalkannya. Mashlaha mursalah disebut juga istihlah, secara etimologis menurut para ulama ushul adalah mashlahah yang tidak ada ketetapannya dalam nash yang membenarkan atau yang membatalkannya. Metode ini adalah salah satu cara dalam menetapkan hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah yang ketepatannya sama sekali tidak disebutkan dalam nash dengan pertimbangan untuk mengatur kemashlahatan hidup manusia. Prinsipnya adalah menriak manfat dan menghindarkan serusakan dalam upaya memelihara tujuan hukum yang lepas dari ketetapan dalil syara’.
            Mashlahah mursalah dapat dijadikan dasar dalam menetapka hukum bila:
1.Masalah itu bersifat esensial atas dasar penelitian, abservasi dan melalui analisis dan pembahasan yang mendalam, sehingga penetapan hukum terhadap masalh benar-benar memberi manfaat dan menghindarkan mudarat.
2.Masalah itu bersifat umum, bukan kepentingan perseoranggan, tetapi manfaat bagi orang banyak.
3.Masalah itu tidak bertentangan dengan nash dan terpenuhinya kepentingan hidup manusia serta terhindar dari kesulitan.
            Para ulama membuat kriteria yang harus dijadikan ukuran dalam membatasi akal kala mengunakan metode maslahah mursalah ini, ada beberpa kriteria yang sangat perlu diperhatikan diantaranya:
·         Maslahat tersbut hastus bersifat ma’qul (reasonable) dan relevan (munasib) dengan kasus hukum yang memang sudah diterapkan oleh nusus.
·         Maslahat tersebut harus dapat diterima oleh pemikiran rasional.
·         Mashlahat tersebut harus sesuai dengan maksdu syar’i dalm menetapkan hukum dan tidak boleh bertentangan dengan nusus, baik dengan dalil tekstual atau dasar-dasar pemikiran sustansinya. Dengan arti bahwa maslahah mursalah harus sesuai dengan maqoshid syariah.
Membuat ketetapan hukum bagi suatu kasus yang didasarkan mashlahah mursalah dalam praktik ijtihad, merupakan suatu metode yang memberi kesempatan luas untuk mengembangkan hukum dibidang mua’malah. Sebab nash-nash yang berkenaan denganbidang muamalah hanay bersifat global atau prinsip-prinsipnya saja, dan jumlahnya sedikit. Ementara pola hidup manusia manusia cenderung berubah dan bersifat kompleks.
4.’URF
            Urf’ disebut juga Al-adah, yang artinya kebiasaan, hanya saja didalam urf’ ada yang berpendapat tidak ada kebiassan yang menyimpang dari Alquran dan Hadist, sedangkan adat adalah kebiasaan ada yang sahih dan ada juga yang fasid, yakni yang bertentangan dengan syariat yang telah ditetapkan kedudukan hukumnya.
            Menurut Rahmat Syafi’i dalam hukum islam adat disebut juga dengan istilah urf’ yang secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, pebuatan atau ketentuaan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.
            Adat atau urf’ merupaka gejala sosial yang terbentuk atas dasar interaksi, hubungan sosial tidak dapat terlepas dari tujuan yang hendak dicapai oleh masing-masing yang berinterkasi. Apabila dalam interaksinya, hubungan sosial menghadapi berbagai gejala disosiasi dan sebagai penyebab lahirnya konflik, disitulah peraturan sosial dibutuhkan. Sistem aturan yang dibutuhkan biasanya berakar dari kemauan yang sama dan tata cara yang disepakati yang dapat menjadi solusi bagi persoalan sosial yang muncul. Urf’adalah adat yang baik, yang tidak menyimpang dari tujuan syariat islam. Konsep tersebut dapat berlaku untuk adat yang telah melembaga dimasyarakat setempat. Struktur pelembgaaan adatnya lebih formal dibandingakan adat sekedar normas sosial, karena ada yang bersifat instutusioanal  dipimpin langsung kepala adat, simbol-simbol sosial yang mengandung unsur religiusitas sosial, dan diperkuat oleh spritualitas sosial terhadap keyakinan teologis tentang sanksi yang bersifat duniawi dan ukhrowi.
            Di dalam hukum islam urf’ atau adat dibagi menjadi dua yaitu:
1.      Adat shahihah, yaitu adat yang merupaka kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan denagn hukum yang lebih tinggi yang besumber dari Al Quran dan Hadist. Tidak bertentangan dengan akal sehat, juga tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, dan apabila dilaksanakan mendatamg kemashlahatan bagi masyarkat. Contoh merayakan hari raya idul fitri atau idul adha dengan agenda siraturahim kepada tentangga, keluarga dan memnyidakan makanan hari raya.
2.      Adat fasidah, yakni adat yang rusak, sebagaimana adat kebiasaan yang bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi yang bersumber dari Al Quran dan Hadist, bahkan bertentangan dengan akal sehat dan undanag-undang yang berlaku. Contoh adat harus menyembelih manusia ketika terjadi pergantian kepala suku atau seseorang yang memberikan hutang tetapi pengembaliannya hrus lebih besar 5% dari jumlah peminjaman awal sehingga ada salah satu pihak yang merasa dirugikan sementara pihak yang lain mendapat untung besar.
Berijtihad dengan metode urf’ atau adah dapat dilakukan, terutama bila adat yang berlaku secara normatif tidak bertentangan denga syariat islam yang telah ada dan berlaku. sebagaimana melaksanakan ashobah dalam pembagian harta pusaka, yang sebelumnya merupakan adat masyarakat jahiliyah. Bahkan, masih bnayak adat jahiliyah yang diambil atau diadopsi oleh hukum islam, misalnya sanksi hukum qisashs, pelaksanaan wasiat dalam harta penimggalan dan sebagainya.[10]

5.SADDU DAZ DZARI’AH
            Menurut arti Etimologi  sadd arinya menutup dan dazri’ah adalah jalan, sebab atau perantara yang menyampaikan sesuatu kepada yang lain-lain. Jadi apabila sigabungkan arinya menutup jalan, sebab atau  perantara yang menyampaikan sesuatu kepada yang lain.
            Menurut istilah Prof. Wahbah Azzulaili mengartikan sadd dzari’ah adalah sesuatu yang akan membawa kepada perbuatan terlarang dan menimbulkan mafshadat atau yang akan membawa kepada perbuatan-perbuatan baik yang akan menimbulkan mashlahat. Muhammad abu zahroh juga memberikan definisi sadd dzari’ah adalah suatu yang menjadi perantara kearah perbuatan yang diharamkan atau yang dihalalkan. Dengan demikian sebuah benang merah bisa kita ambil sadd dzari’ah adalah menutup atau mencegah perbuatan yang menjadi jalan atau perantara kepada kerusakan atau kemafshadatan sekalipun perbuatan yang menjadi perantara itu pada dasarnya boleh.
            Tentang kehujjahan sadd dzari’ah tidak ada dalil yang jelas dan pasti dalam bentuk nash manapun ijmak ulama tentang boleh atau tidaknya mengunakan saddu dzari’ah. Oleh karena itu, dasar pengambilannya hanya semata-mata ijtihad dengan berdasarkan pada tindakan-tindakan hati-hati dalam beramal dan jangan samapai melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan. Kemudian yang dijadikan dalam tindakan hati-hati itu adalah faktor manfaat dan mudarat atau baik dan buruk. Dasar pegangan ulama mengunakan saddu dzari’ah adalah kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi perbenturan antara mashlahat dan mafshadat. Bila yang dominan, maka boleh dilakukan adan sebaliknya bila mafshadatnya yang dominan maka harus ditinggalkan, bila saat kuat antara dua-duanya, maka untukmmenjaga kehati-hatian harus diambil prinsip yang berlaku, yaitu sebagaimana yang dirumuskan dalam kaidah ushul:
“menolak kerusakan diutamakan ketimbang mengambil kemashlahatan”
            Adapun pembagian dari saddu Adzari’ah adalah:
1.      Sadd dzari’ah adalah melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemashlahatan menuju suatu kerusakan.dalam kaitannya dengan pendekatan saadu dzari’ah ini pada hakikatnya semua hal yang mengakibatkan kemudarotan harus ditinggalkan.
2.      Fath adzari’ah, merupakan bagian dari dzari’ah yang artinya membuka segala sesuatu yang dapat menimbulkan kerusakan atau kemudharotan. Jalan-jalan yang akan melancarkan terjadinya keruskan wajib dihindarkan, sebagaimana berdagang ketika mendengarkan khutbah jumat, harus di hentikan karena akan merusak makana dzikrullah jumatannya, atau wajib meninggalkan segala benyuk perbuatan yang akan menimbulkan perzinahan karena Allah melarang mendekati zina.







KESIMPULAN
Menurut ulama ushul fiqh, Al qiyas berarti menyamakan sesuatu kejadiaan yang tidak ada nash kepada kejadiaan lain yang ada nasmya pada nash hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan diantara dua kejadian itu dalam illat (seaba terjadinya) hukumnya
Istihsan adalah pindahnya seorang mujahid dari tunttan kyas jali (nyata) kepada qiyas khafi (samar) atau dari dalil kulli kepada hukum takhsish lantaran terdapat dalalil yang menyebabkan mutahid mengalihkan hasil fikirannya dan mementintangkan perpindahan hukum
Mashlaha mursalah disebut juga istihlah, secara etimologis menurut para ulama ushul adalah mashlahah yang tidak ada ketetapannya dalam nash yang membenarkan atau yang membatalkannya
Menurut istilah Prof. Wahbah Azzulaili mengartikan sadd dzari’ah adalah sesuatu yang akan membawa kepada perbuatan terlarang dan menimbulkan mafshadat atau yang akan membawa kepada perbuatan-perbuatan baik yang akan menimbulkan mashlahat.
Urf’ disebut juga Al-adah, yang artinya kebiasaan, hanya saja didalam urf’ ada yang berpendapat tidak ada kebiassan yang menyimpang dari Alquran dan Hadist, sedangkan adat adalah kebiasaan ada yang sahih dan ada juga yang fasid, yakni yang bertentangan dengan syariat yang telah ditetapkan kedudukan hukumnya, semua hal diatas merupak metode dalam menyelesaikan masalh atau problem kontemporer yang belum dijelaskan daidalam Quran dan Hdist.
SARAN
            Selanjutnya makalah ini sanagt normatif dan sangat jauh dari kata sempurna untuk itu kritik dan saran serta semua masukkan yang bersifat membagun sangat saya harapkan dari pihak manpun agar makalah selanjutnya dapat semakin baik.

DAFTAR PUSTAKA
1.      Beni Ahmad Saebani, 2009, Ilmu ushul fiqh, CV.Pustaka Setia,Bandung
2.      Khalaf, Abdul Wahab, 1996, Ilmu Ushul Fiqh, Gema Risalah Press,Bandung
3.      Syarifudin Amir, 1997, Ushul Fiqh, jilid I, PT.Logos Wacana Ilmu, Jakarta
4.      Bakry Nazar, 1993, Fiqh dan Ushul Fiqh, PT.Grasindo persada, Jakarta
5.      Kusaini Ahmad, 2013, Evolusi Ushul Fiqh, CV. Pustaka Ilmu Group, Yogyakarta.
6.      Aziz , Faisal Abdul, M.Ag, 2009, Modul Mata Pelajaran Usul Fiqh.




[1] Beni Ahmad Saebani, 2009, Ilmu ushul fiqh, CV.Pustaka Setia,Bandung, Hal.172
[2] Abdul wahab khalaf, 1996, Ilmu Ushul Fiqh, Gema Risalah Press,Bandung, Hal.92-95

[3] Amir syarifudin, 1997, Ushul Fiqh, jilid I, PT.Logos Wacana Ilmu, Jakarta.Hal.150

[4] Nazar Bakry, 1993, Fiqh dan Ushul Fiqh, PT.Grasindo persada, Jakarta, Hal.47-48
[5] Abdul wahab khalaf, 1996, Ilmu Ushul Fiqh, Gema Risalah Press,Bandung,Hal.106

[6] Nazar Bakry, 1993, Fiqh dan Ushul Fiqh, PT.Grasindo persada, Jakarta, Hal.49-50
[7] Abdul wahab khalaf, 1996, Ilmu Ushul Fiqh, Gema Risalah Press,Bandung,Hal 136-139
[8] Nazar Bakry, 1993, Fiqh dan Ushul Fiqh, PT.Grasindo persada, Jakarta,Hal.188

[9] Ahmad Kusaini, 2013, Evolusi Ushul Fiqh, CV. Pistaka Ilmu Group, Yogyakarta.Hal.83

[10] Beni Ahmad Saebani, 2009, Ilmu ushul fiqh, CV.Pustaka Setia,Bandung,Hal.190-192

[11] Faisal Abdul Aziz, M.Ag, 2009, Modul Mata Pelajaran Usul Fiqh.Hal.21-22
[12] Beni Ahmad Saebani, 2009, Ilmu ushul fiqh, CV.Pustaka Setia,Bandung,Hal.192

You Might Also Like

0 komentar

Pengikut

Wikipedia

Hasil penelusuran

Like us on Facebook

https://www.facebook.com/megisaputra.mmeegisaputra