MAKALAH USHUL FIQH
Maret 02, 2020
BAB
I
PENDAHULUAN
A.LATAR
BELAKANG
Dalam
menghadapi Dalam menghadapi kehidupan moderen yang syarat dengan berbagai
kemajuaan dan canggihnya teknologi selain manfaat bagi kemudahan manusia dalam
beraktivitas, seperti biasa kemajuaan teknologi juga membawa dampak negatif
bagi kehidupan hingga memunculakn berbagai masalah kontemporer yang kompleks.
Dengan teknologi rasanya tidak ada lagi sekat yang dapat memisahkan orang untuk
mengetahui dan mendapatkan apa saja, bahkan tidak jarang kita rasakan kemajuan
teknologi membuat orang berlaku egoistik dan materialistik, tidak lagi
menganggap penting eksistensi agamanya dalam menjalankan kehidupan sementara
kita semua mengetahui bahwa Sesungguhnya tiada kehidupan terbaik selain
kehidupan keislaman, tiada aturan terbaik selain islam, tiada naungan terbaik
selain islam, tiada persaudaraan terbaik
selain didasari nilai-nilai islam, tiada waktu terbaik selain waktu yang
digunakan untuk kemulian dan loyalitas terhadap islam. Islam tidak boleh kita
nomorduakan hanya karena urusan kita didunia yang sesaat ini, islam harus menjadi
bagian dari kehidupan kita, bagai nafas yang Allah helakkan untuk kita tak
sanggup bertahan jika sedetik saja nafas itu lepas dari tenggorokan kita. Islam
harus menjadi control dan pengawasan terhadap kita, karena pada hakekatnya
kebahagian kita saat ini sesungguhnya adalah sesaat saja sedang islam akan
membawa kita kepada kesenangan yang hakiki di dunia wal akhirat. Islam harus
kita jaga kemuliaan dan ketinggiannya tidak boleh kita samakan dengan agama
selain islam sebagaimana kita tidak boleh menyamakan langit dan bumi yang
tersimpan sejuta perbedaan apalagi dilupakan dengan hadirnya kemajuaan. Islam
harus menjadi hujjah, pedoman dan petunjuk jalan kehipuan kita didunia hingga
akhir hayat.
Untuk
melaksanakan atau berislam secara kaffah, kita harus belajar dan mengetahui
sumber-sumber dari pada ajaran islam itu sendiri, agara dalam berislam tidak
hanya sekedar seorang islam tetapi islam yang baik, yang memahami setiap
problem sulit dan cara islam menyelesaikannya. Adapaun sumber dari pada ajran
islam itu sendiri yang paling utama adalah Alquran (kitabullah) dan Hadits (
sunnah nabi muhammad saw) selain sumber diatas ada beberapa sumber ajaran islam
yang disepakati oleh para ulama untuk menyelesaikan masalah kontemporer yang
belum dijelaskan secara rinci didalam Quran dan hadist nabi, namun tetap merujuk
kepada pedoman yang utama diantara nya adalah: qiyas, urf, mashlaha mursalah,
istihsan dan lain sebagainya, hal tersebut sangat penting untuk menghadapi
berbagai problem dalam kehidupan moderen saat ini. Islam sebagai agama yang
menjadi naungan kehidupan ummat manusia telah menetapkan aturan apa saja yang
menjadi tujuaan kehidupan manusia agar berbagai kemajuaan menjadi sarana untuk
beribadah sebanyak-banyaknya bukan membuat dosa sepuas-puasnya, karena itu penting
sekali bagi kita mengetahui ajaran islam dari sumbernya.
B.RUMUSAN
MASALAH
1.Mejelaskan
tentang QIYAS?
2.
Mejelaskan tentang ISTIHSAN?
3.
Mejelaskan tentang ISTIHLAH/MASHLAHA MURSALAH?
4.
Mejelaskan tentang URF’?
5.
Mejelaskan tentang SADD DZARI’AH?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
QIYAS
Pengertiaan
Qiyas berasal dari kata “qasa,
yaqisu, qaisan” artinya mengukur dan ukuran. Kata qiyas diartikan ukuran
sukatan, timbangan, dan lain-lain yang searti dengan itu, atau pengukuran
sesuatu dengan yang lainnya, atau penyamaan sesuatu denganyang sejenisnya,
misalnya kalimat:
“ia
telah mengukur sesuatu dengan lainnya atas lainnya”[1]
Qiyas juga diartikan dengan “at-taqdir
wa al-taswiyah” artinya menduga dan mempersamakan. Qiyas dinamakan juga
dengan alasan adanya ‘illat hukum.
Menurut ulama ushul fiqh, Al qiyas
berarti menyamakan sesuatu kejadiaan yang tidak ada nash kepada kejadiaan lain
yang ada nasmya pada nash hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan
diantara dua kejadian itu dalam illat (seaba terjadinya) hukumnya.
Karenanyajika nash telah memberi
petunjuk hukum mengenai suatu kejadiaan dan illat hukumnya pun telah diketahui
dengan cara-cara yang telah ditentukan untuk mengetahui illat hukum, kemudiaan
illat dalam nash itu, makakejadiaan tersebut harus disamakan dengan kejadian
yang ada nashnya pada illat yang seperti illat hukum dalam suatu kejadian. Juga
kejadian lain itu harus disamakan dengan kejadian yang ada nashnya dalam hukum
berdasarkan penyaman dau kejadiaan itu dalam hal illatnya. Sebab hukum tersebut
dapat diketahui setelah diketahui illatnya.
Contoh qiyas untuk
memperjelas definisi diatas:
Masalah
minum khamar, merupakan suatu perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan dalam
nash. Hukumnya adalah haram berdasarkan pengertiaan ayat
“...sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syithon. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu.” (QS Almaidah Ayat 90).
Dalam
ayat tersebut ada illat memabukkan. Oleh karena itu, setiap minuman yang
terdapat illat memabukkan, hukumnya sama dengan khamar, dan haram meminumnya.[2]
Imam Alghazali mengartikan dalam
mustashfah qiyas“ menanggungkan sasuatu yang diketahui kepada sesuatu
yang diketahui dalam hal menetapkan hukum dari keduanya, dalam penetapan hukum
atau peniadaan hukum”
Kehujjahan
qiyas
Dalam kehujaan atau penerimaan ulama
terhadap qiyas debagai dalail hukum syara’ Muhammad abu zahroh membagi menjadi
3 kelompok yaitu;
1.Kelompok
jumhur ulama yang menjadikan qiyas sebagai dalil syara’. Mereka menggunakan
qiyas dala hal-hal tidak terdapat hukumnya dalam nash Quran atau sunnah dan
dalam ijma ulama, mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak
melebihi batas kewajaran. Dianatar dalil Quran yang dijadika dasar bagi jumhur
diantaranya:
“dialaha
yang mengeluarkan orang-orang kafair diantara ahlil kitab dari kampung-kampung
mereka pada saat pengusiran pertama kali. Kamu tidak menyangka bahwa mereka
akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat
memperthankan mereka dari siksaan Allah maka Allah mendatangkan kepada mereka
(hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah melemparkan
ketakutan kedalam hati mereka, mereka memusnakan rumah-rumah dengan tanganmereka
sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah (kejadiaan itu)
untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan yang
dalam”.(QS.Al Hasyar 2).
2.Kelompok
ulama dzahiriyah dan syi’ah imamiyah yang menolak pengunaan qiyas secara
mutlak. Dzahiriyah juga menolak penemuaan ‘illat diatas suatu hukum dan
menganggap tidak perlu mengetahui tujuaan ditetapkanmya suatu hukum syara.
3.Kelompok
yang mengunakan qiyas secara mudah dan luas, merekapun berusaha mengabungkan
dua hal yang tidak terlihat kesamaan illat diantara keduannya. Kadang-kadang
memberi kekuatan yang lebih tinggi terhadap qiyas, sehingga qiyas itu membatasi
keumuman sebagian ayat Alquraan atau sunnah.[3]
Syarat-syarat
qiyas
Untuk melakukan qiyas
terhadap sesuatu masalah yang belum ada ketentuanya dalam Alquran dan hadist
harus memnuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.Hendaknya
hukum asal tidak berubah-ubah atau belum dinasakhkan artinya hukum yang tetap
berlaku
2.Asal
serta hukumnya sudah ada ketentuaan yang menurut agama artinya sudah ada
menurut ketegasan Quran dan hadist.
3.Hendaklah
hukum yang berlaku pada asal berlaku pula qiyas, artinya hukum asal itu dapat
diperlakukan pada qiyas.
4.Tidak
boleh hukum furu’ (cabang) terdahulu dari hukum asal, karena untuk menetapkan
hukum berdasarkan kepda illatnya (sebab).
5.Hendaknya
sama illat yang ada pada furu’ dengan illat yang ada pada asal
6.Hukum
yang ada pada furu’ hendaklah sama dengan hukum yang ada pada asal. Artinya
tidak boleh hukum furu’ menyalahi hukum asal
7.Tiap-tiap
ada illat ada hukum dan tidak ada illat tidak ada hukum. Artinya illat itu
selalu ada.
8.Tidak
boleh illat itu bertentangan menurut ketentuaan-ketentuaan agama, artinya tidak
boleh menyalahi Alquran dan Sunnah.
Rukun
qiyas
1.Al-Ashl,
ialah sesuatu yang hukumnya terdapatdalam nash biasa disebut sebagai Al-maqis ‘alaih ( yang
dipakai sebagai ukuran) atau mahmul ‘alaih (yang dipakai sebagai tangungaan)
atau masyabahbih (yang dipkai sebagai penyerupaan).
2.Al-Far’u,
adalah sesuatu yang hukumnya tidak terdapat didalam nash, dan hukumnya
disamakan kepada Al-ashl. Alfar’u biasa disebut sebagai Almaqis
(yang diukur) atau Al mahmul( yang dibawa) atau masyabah (yang disamakan).
3.Hukmu
‘i-Ashl, adalah hukum syara’ yang terdapat nashnya menurut Al ashl,
dan dipakai sebagai hukum asal bagi cabang (Al -far’u)
4.Al-‘Illat
adalah keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar bagi hukum ashal
(asal), kemudiaan cabang (Al fAr’u) itu disamakan kepada asal dalam hal
hukumnya.
Macam-macam
Qiyas
1.Qiyas
Dalalah, adalah illat yang ada pada qiyas menjadi dalil alasan bagi hukum
tetapi tidak diwajibkan baginya (furu’) seperti mengqiyaskan wajib zakat
pada harta anak-anak kepada harta orang dewasa yang telah mencapai nisab,
tetapi bagi anak-anak tidak wajid mengeluarkan zakatnya diqiyaskan kepada haji
tidak diwajibkan bagi anak-anak.
2.Qiyas
syabah, yaitu menjadikan qiyas (furu’) dikembalikan kepada dua asal
yang lebih banyak persamaan antara keduanya. Seperti mengqiyaskan budak dengan
orang merdeka.
3.Qiyas
adwan, yaitu nebgqiyaskan (furu’) terhimpun pada hukum yang ada pada tempat
mengqiyaskan, seperti memgqiyaskan memakai perak bagi laki-laki kepada memakai
emas.
2.ISTIHSAN
Secara etimologi istihsan
berarti menganggap baik tehadap sesuatau. Menurut istilah ulam ushul fiqh istihsan
adalah pindahnya seorang mujahid dari tunttan kyas jali (nyata) kepada qiyas
khafi (samar) atau dari dalil kulli kepada hukum takhsish lantaran terdapat
dalalil yang menyebabkan mutahid mengalihkan hasil fikirannya dan
mementintangkan perpindahan hukum.
Karenanya jiak terdapat suatu
kejadiaan yang tidak ada mash hukumnya, maak dalam pembahasanya ada dua segi
yang salimg berlawanan:
1. Segi
dzahir yang menghendaki adanya suatu hukum.
2. Segi
khafi (tak tampak) yang menghendaki adanya hukum lain
Dalam
hal ini,pada diri mujtahid ada dalil yang lebih yang lebih mendahukan pandangan
khafi namun ia pindah kepada pandangan yang dzahir, menurut syara hal itu
disebut istihsanbegitu juga jika ada hukum kulli pada diri mujtahid, namun ia
menghendaki adanya dalil juz’iyyah dari hukum kulli, dan memberikan ketetapan
hukum kepada juz’iyyah, menurut syara’ hal ini juga disebut istihsan.
Macam-macam Istihsan
1.Mengutamakan
atau memenagkan qiyas khafi dari pada qiyas jali berdasarkan dalil.
Contoh nash fuqoha hanafiyah jika seorang wakif mewakafkan sebidang tanah
pertanian maka termasuk didakam wakaf itu hak perairan, aiar minum,hak lewat
dengan konsekuensi ringan yang tidak disebut berdasarkan istihsan, tetapi
menurut qiyas hal itu tidak termasuk wakaf melainkan jika terdapat nash.
2.Mengecualikan
juz’iyah dari pada hukum kully berdasarkan dalil. Contoh syar’i telah melarang
mengadakan penjualan atau perjanjiaan aqad terhadap barang yang tidak terdapat
ditempat aqad. Tetapi melalui metode istihsan perbuatan tersebut dibolehkan
melaui jalan pesanan, akad atau perjanjian sewa, atau pengelolaan tanah ladang
untuk ditanami denga sistem bagi hasil, perjanjian pengairan dan perjanjian
permohonan kerja (menyangkut kebutuhan manusia yang sudah saling mengenal).
Adapun kehujjahan pengunaan istihsan
kebanyakan adalah ulama hanafiyah. Alasan mereka terhadap dipakainya istihsan
sebagai hujjah adalah bahwa istidlal dengan jalan istihsan hanya di utamakn
dari qiyas jalli, atau merupkan kemenangan atau merupkan istidlal dengan jaln
mashlaha mursalah terhadap pengecualian hukum kuli. Ada sebagian mujtahid yang
menolak pengunaan metode istihsan sebagai istimbat hukum syara’ yang didasarkan
kemauan hawa nafsu yang seenaknya. Tokoh yang menolak istihsan ini adalah imam
syafi’i, yang mengatakan “siapapun ynag mengunakan istihsan berati telah
membuat syriat.
3.ISTIHLAH/MASHLAHA
MURSALAH
Kata mashlaha berarti
kepentingan hidup manusia. Adapun kata mursalah sesuatu yang tidak ada
ketentuaan nash syariat yang menguatkan atau membatalkannya. Mashlaha
mursalah disebut juga istihlah, secara etimologis menurut para ulama
ushul adalah mashlahah yang tidak ada ketetapannya dalam nash yang membenarkan
atau yang membatalkannya. Metode ini adalah salah satu cara dalam menetapkan
hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah yang ketepatannya sama sekali tidak
disebutkan dalam nash dengan pertimbangan untuk mengatur kemashlahatan hidup
manusia. Prinsipnya adalah menriak manfat dan menghindarkan serusakan dalam
upaya memelihara tujuan hukum yang lepas dari ketetapan dalil syara’.
Mashlahah mursalah dapat
dijadikan dasar dalam menetapka hukum bila:
1.Masalah
itu bersifat esensial atas dasar penelitian, abservasi dan melalui analisis dan
pembahasan yang mendalam, sehingga penetapan hukum terhadap masalh benar-benar
memberi manfaat dan menghindarkan mudarat.
2.Masalah
itu bersifat umum, bukan kepentingan perseoranggan, tetapi manfaat bagi orang
banyak.
3.Masalah
itu tidak bertentangan dengan nash dan terpenuhinya kepentingan hidup manusia
serta terhindar dari kesulitan.
Para ulama membuat kriteria yang
harus dijadikan ukuran dalam membatasi akal kala mengunakan metode maslahah
mursalah ini, ada beberpa kriteria yang sangat perlu diperhatikan diantaranya:
·
Maslahat tersbut
hastus bersifat ma’qul (reasonable) dan relevan (munasib) dengan kasus
hukum yang memang sudah diterapkan oleh nusus.
·
Maslahat
tersebut harus dapat diterima oleh pemikiran rasional.
·
Mashlahat
tersebut harus sesuai dengan maksdu syar’i dalm menetapkan hukum dan tidak
boleh bertentangan dengan nusus, baik dengan dalil tekstual atau dasar-dasar
pemikiran sustansinya. Dengan arti bahwa maslahah mursalah harus sesuai dengan
maqoshid syariah.
Membuat ketetapan hukum bagi suatu kasus
yang didasarkan mashlahah mursalah dalam praktik ijtihad, merupakan suatu
metode yang memberi kesempatan luas untuk mengembangkan hukum dibidang
mua’malah. Sebab nash-nash yang berkenaan denganbidang muamalah hanay bersifat
global atau prinsip-prinsipnya saja, dan jumlahnya sedikit. Ementara pola hidup
manusia manusia cenderung berubah dan bersifat kompleks.
4.’URF
Urf’ disebut juga Al-adah,
yang artinya kebiasaan, hanya saja didalam urf’ ada yang berpendapat
tidak ada kebiassan yang menyimpang dari Alquran dan Hadist, sedangkan adat
adalah kebiasaan ada yang sahih dan ada juga yang fasid, yakni yang
bertentangan dengan syariat yang telah ditetapkan kedudukan hukumnya.
Menurut Rahmat Syafi’i dalam hukum
islam adat disebut juga dengan istilah urf’ yang secara harfiyah adalah
suatu keadaan, ucapan, pebuatan atau ketentuaan yang telah dikenal manusia dan
telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.
Adat atau urf’
merupaka gejala sosial yang terbentuk atas dasar interaksi, hubungan sosial
tidak dapat terlepas dari tujuan yang hendak dicapai oleh masing-masing yang
berinterkasi. Apabila dalam interaksinya, hubungan sosial menghadapi berbagai
gejala disosiasi dan sebagai penyebab lahirnya konflik, disitulah peraturan
sosial dibutuhkan. Sistem aturan yang dibutuhkan biasanya berakar dari kemauan
yang sama dan tata cara yang disepakati yang dapat menjadi solusi bagi
persoalan sosial yang muncul. Urf’adalah adat yang baik, yang tidak
menyimpang dari tujuan syariat islam. Konsep tersebut dapat berlaku untuk adat
yang telah melembaga dimasyarakat setempat. Struktur pelembgaaan adatnya lebih
formal dibandingakan adat sekedar normas sosial, karena ada yang bersifat
instutusioanal dipimpin langsung kepala
adat, simbol-simbol sosial yang mengandung unsur religiusitas sosial, dan
diperkuat oleh spritualitas sosial terhadap keyakinan teologis tentang sanksi
yang bersifat duniawi dan ukhrowi.
Di dalam hukum islam urf’
atau adat dibagi menjadi dua yaitu:
1. Adat shahihah, yaitu adat yang
merupaka kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan denagn hukum yang lebih
tinggi yang besumber dari Al Quran dan Hadist. Tidak bertentangan dengan akal
sehat, juga tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, dan apabila
dilaksanakan mendatamg kemashlahatan bagi masyarkat. Contoh merayakan hari raya
idul fitri atau idul adha dengan agenda siraturahim kepada tentangga, keluarga
dan memnyidakan makanan hari raya.
2. Adat fasidah, yakni adat yang
rusak, sebagaimana adat kebiasaan yang bertentangan dengan hukum yang lebih
tinggi yang bersumber dari Al Quran dan Hadist, bahkan bertentangan dengan akal
sehat dan undanag-undang yang berlaku. Contoh adat harus menyembelih manusia
ketika terjadi pergantian kepala suku atau seseorang yang memberikan hutang
tetapi pengembaliannya hrus lebih besar 5% dari jumlah peminjaman awal sehingga
ada salah satu pihak yang merasa dirugikan sementara pihak yang lain mendapat
untung besar.
Berijtihad
dengan metode urf’ atau adah dapat dilakukan, terutama bila adat yang
berlaku secara normatif tidak bertentangan denga syariat islam yang telah ada
dan berlaku. sebagaimana melaksanakan ashobah dalam pembagian harta pusaka,
yang sebelumnya merupakan adat masyarakat jahiliyah. Bahkan, masih bnayak adat
jahiliyah yang diambil atau diadopsi oleh hukum islam, misalnya sanksi hukum
qisashs, pelaksanaan wasiat dalam harta penimggalan dan sebagainya.[10]
5.SADDU
DAZ DZARI’AH
Menurut arti Etimologi sadd arinya menutup dan dazri’ah
adalah jalan, sebab atau perantara yang menyampaikan sesuatu kepada yang
lain-lain. Jadi apabila sigabungkan arinya menutup jalan, sebab atau perantara yang menyampaikan sesuatu kepada
yang lain.
Menurut istilah Prof. Wahbah
Azzulaili mengartikan sadd dzari’ah adalah sesuatu yang akan membawa
kepada perbuatan terlarang dan menimbulkan mafshadat atau yang akan membawa
kepada perbuatan-perbuatan baik yang akan menimbulkan mashlahat. Muhammad abu
zahroh juga memberikan definisi sadd dzari’ah adalah suatu yang menjadi
perantara kearah perbuatan yang diharamkan atau yang dihalalkan. Dengan
demikian sebuah benang merah bisa kita ambil sadd dzari’ah adalah menutup atau
mencegah perbuatan yang menjadi jalan atau perantara kepada kerusakan atau
kemafshadatan sekalipun perbuatan yang menjadi perantara itu pada dasarnya
boleh.
Tentang kehujjahan sadd dzari’ah
tidak ada dalil yang jelas dan pasti dalam bentuk nash manapun ijmak ulama
tentang boleh atau tidaknya mengunakan saddu dzari’ah. Oleh karena itu, dasar
pengambilannya hanya semata-mata ijtihad dengan berdasarkan pada
tindakan-tindakan hati-hati dalam beramal dan jangan samapai melakukan
perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan. Kemudian yang dijadikan dalam
tindakan hati-hati itu adalah faktor manfaat dan mudarat atau baik dan buruk.
Dasar pegangan ulama mengunakan saddu dzari’ah adalah kehati-hatian dalam
beramal ketika menghadapi perbenturan antara mashlahat dan mafshadat. Bila yang
dominan, maka boleh dilakukan adan sebaliknya bila mafshadatnya yang dominan
maka harus ditinggalkan, bila saat kuat antara dua-duanya, maka untukmmenjaga
kehati-hatian harus diambil prinsip yang berlaku, yaitu sebagaimana yang
dirumuskan dalam kaidah ushul:
Adapun pembagian dari saddu
Adzari’ah adalah:
1. Sadd dzari’ah adalah melaksanakan
suatu pekerjaan yang semula mengandung kemashlahatan menuju suatu
kerusakan.dalam kaitannya dengan pendekatan saadu dzari’ah ini pada hakikatnya
semua hal yang mengakibatkan kemudarotan harus ditinggalkan.
2. Fath adzari’ah, merupakan
bagian dari dzari’ah yang artinya membuka segala sesuatu yang dapat menimbulkan
kerusakan atau kemudharotan. Jalan-jalan yang akan melancarkan terjadinya
keruskan wajib dihindarkan, sebagaimana berdagang ketika mendengarkan khutbah
jumat, harus di hentikan karena akan merusak makana dzikrullah jumatannya, atau
wajib meninggalkan segala benyuk perbuatan yang akan menimbulkan perzinahan
karena Allah melarang mendekati zina.
KESIMPULAN
Menurut
ulama ushul fiqh, Al qiyas berarti menyamakan sesuatu kejadiaan yang
tidak ada nash kepada kejadiaan lain yang ada nasmya pada nash hukum yang telah
menetapkan lantaran adanya kesamaan diantara dua kejadian itu dalam illat
(seaba terjadinya) hukumnya
Istihsan
adalah pindahnya seorang mujahid dari tunttan kyas jali (nyata) kepada qiyas
khafi (samar) atau dari dalil kulli kepada hukum takhsish lantaran terdapat
dalalil yang menyebabkan mutahid mengalihkan hasil fikirannya dan
mementintangkan perpindahan hukum
Mashlaha
mursalah disebut juga istihlah, secara etimologis
menurut para ulama ushul adalah mashlahah yang tidak ada ketetapannya dalam
nash yang membenarkan atau yang membatalkannya
Menurut
istilah Prof. Wahbah Azzulaili mengartikan sadd dzari’ah adalah sesuatu
yang akan membawa kepada perbuatan terlarang dan menimbulkan mafshadat atau
yang akan membawa kepada perbuatan-perbuatan baik yang akan menimbulkan
mashlahat.
Urf’
disebut juga Al-adah, yang artinya kebiasaan, hanya saja didalam urf’
ada yang berpendapat tidak ada kebiassan yang menyimpang dari Alquran dan
Hadist, sedangkan adat adalah kebiasaan ada yang sahih dan ada juga yang fasid,
yakni yang bertentangan dengan syariat yang telah ditetapkan kedudukan
hukumnya, semua hal diatas merupak metode dalam menyelesaikan masalh atau
problem kontemporer yang belum dijelaskan daidalam Quran dan Hdist.
SARAN
Selanjutnya makalah ini sanagt
normatif dan sangat jauh dari kata sempurna untuk itu kritik dan saran serta
semua masukkan yang bersifat membagun sangat saya harapkan dari pihak manpun
agar makalah selanjutnya dapat semakin baik.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Beni
Ahmad Saebani, 2009, Ilmu ushul fiqh, CV.Pustaka Setia,Bandung
2. Khalaf,
Abdul Wahab, 1996, Ilmu Ushul Fiqh, Gema Risalah Press,Bandung
3. Syarifudin
Amir, 1997, Ushul Fiqh, jilid I, PT.Logos Wacana Ilmu, Jakarta
4. Bakry
Nazar, 1993, Fiqh dan Ushul Fiqh, PT.Grasindo persada, Jakarta
5. Kusaini
Ahmad, 2013, Evolusi Ushul Fiqh, CV. Pustaka Ilmu Group, Yogyakarta.
6. Aziz
, Faisal Abdul, M.Ag, 2009, Modul Mata Pelajaran Usul Fiqh.
[1]
Beni
Ahmad Saebani, 2009, Ilmu ushul fiqh, CV.Pustaka Setia,Bandung, Hal.172
[2]
Abdul
wahab khalaf, 1996, Ilmu Ushul Fiqh, Gema Risalah Press,Bandung,
Hal.92-95
[3]
Amir
syarifudin, 1997, Ushul Fiqh, jilid I, PT.Logos Wacana Ilmu,
Jakarta.Hal.150
[4]
Nazar
Bakry, 1993, Fiqh dan Ushul Fiqh, PT.Grasindo persada, Jakarta, Hal.47-48
[7] Abdul wahab
khalaf, 1996, Ilmu Ushul Fiqh, Gema Risalah Press,Bandung,Hal 136-139
[8]
Nazar
Bakry, 1993, Fiqh dan Ushul Fiqh, PT.Grasindo persada, Jakarta,Hal.188
[10]
Beni
Ahmad Saebani, 2009, Ilmu ushul fiqh, CV.Pustaka Setia,Bandung,Hal.190-192
[12] Beni Ahmad
Saebani, 2009, Ilmu ushul fiqh, CV.Pustaka Setia,Bandung,Hal.192
0 komentar