MAKALAH RELEVANSI UU NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN TERKAIT PEMBATASAN USIA MINIMAL KAWIN

Maret 02, 2020



BAB I PENDAHULUAN

1.         LATAR BELAKANG
Setelah mengalami berbagai masa termasuk masa dimana seseorang bisa saja menikah asal menurut pemahaman agama sudah dapat menikah misalnya dengan alasan sudah aqil baliq, bagi laki-laki sudah mimpi basah serta bagi isteri sudah menstrubasi dapat melangsungkan pernikahan kapan dan dimanapun. Hal ini menyebabkan berbagai masalah dalam kehidupan bernegara misalnya pernikahan tanpa memperhatikan umur akan memicu timbulnya kemiskinan, penganguran dan juga akan melahirkan generasi yang kurang berkualitas karena ibu yang melahirkan belum mencapai minimal usia reproduksi. Dalam hal pendidikan misalnya kebanyakan mereka yang menikah diusia muda berhenti melanjutkan pendidikannya sehingga memperlambat majunya pendidikan yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa.
Dari kondisi ini maka para ilmuan utamanya pakar hukum islam merumuskan sebuah aturan yang akan menjadi panduan pemerintah Indonesia dalam mengatasi masalah tersebut, melalui berbagai diskusi semenjak Indonesia merdeka maka dirumuskan satu daraf Undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai permasalahan diatas. Yang didalam kajian hukum keluarga islam lazim disebut dengan pembaruan hukum keluarga islam Indonesia, pembaruan dimaksud adalah dijadikannya aturan-aturan terkait masalah hukum kelurga menjadi hukum yang satu (Unifikasi) dalam bentuk Undang-Undang. Didalam rumusan undnag-undang yang diajukan kepada DPR terdapat 13 hal terkait dengan hukum kelurga yang akan mengalami pembahruan, salah satu dari 13 hal tersebut adalah masalah pernikahan dibawah umur atau pembatasan usia minimal kawin. Udang-Undang tersebut dikenal sekarang dengan UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.[1]
Selama kurang lebih 44 tahun semenjak di Undangkan, pasal yang mengatur mengenai pembatasan usia minimal kawin mulai dipertanyakan relevan atau tidak untuk tetap diberlakukan, karena pasalnya semakin hari semakin banyak perkawinan diusia dini terjadi dengan berbagai alasannya. Mengingat penting halnya hal ini untuk digali apa yang salah dari aturan tersebut maka penulis mencoba memberikan masukan melalui karya ilmiah ini.

2.      RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah pembatasan usia minimal kawin yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 masih relevan?
2.      Bagaimana nalisa terkait landasan dan nilai pembahruan UU Perkawinan khususnya tentang pembatasan usia minimal kawin?
3.      Perlukan adanya penambahan atau penrurangan dari pasal-pasal yang ada terkait pembatasan usia minimal kawin dalam UU No 1 Tahun 1974.
3.      TUJUAN
1.      Apakah pembatasan usia minimal kawin yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 masih relevan?
2.      Bagaimana nalisa terkait landasan dan nilai pembahruan UU Perkawinan?
3.      Perlukan adanya penambahan atau penrurangan dari pasal-pasal dalam UU No 1 Tahun 1974.


BAB II PEMBAHASAN
1.      EFEKTIFITAS BERLAKUNYA ATURAN TENTANG PERNIKAHAN DINI DALAM UU NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.
Termasuk materi hukum yang masuk kedalam UU No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, mengenai hukum keluarga adalah  mengenai pembatasan usia minimal kawin hal ini tertuang dalam pasal 6 dan pasal 7. Disebutkan Pasal 6 ayat (2):
“Untuk melansungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua”.[2]
Kemudian pasal 7 ayat (1) menyebutkan: “Perkawinan hanya diizikan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas ) tahun”.[3]
Jika melihat secara subsatansi, mengenai aturan pembatasan usia minimal kawin diatas maka masih sangat relevan dengan kondisi masyarakat sekarang, mengapa demikian karena dalam kenyataanya, perkawinan usia dini masih sangat marak dilakukan. Oleh karenanya tidak patut dipertanyakan lagi apakah masih relevan atau tidak, yang harus menjadi perhatian adalah sejauh mana aturan tersebut dijalankan secara efektif. Bahkan seharusnya pembatasan usia minimal kawin ini harus lebih digalakan lagi sosialisasinya karena hal ini penting agar generasi muda tidak terjebak dalam pernikahan dini. Misalnya pernikahan dini dengan tanpa menjalankan pedoman pasal 7 ayat (2) seharusnya dihukum dan diberi sanksi, ada begitu banyak kasus pernikahan dini yang tanpa izin pengadilan kerena tidak mau rumit dan banyak syarat yang harus siapkan, akhirnya mengubah identitas atau menikah dibawah tangan tanpa dicatatkan oleh petugas yang berwenang padahal sesuai amanah pasal 2 ayat (2) UU No 1 Thun 1974 bahwa “ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undnagan yang berlaku”.
Oleh karenanya adanya aturan mengenai pembatasan usia minimal kawin ini mutlak harus dipertahankan setidaknya ada tiga alasan:
·         Adanya aturan mengenai pembatasan usia minimal kawin adalah upaya pemerintah mengatasi agar perkawinan diusia dini dapat berkurang serta menjadi pedoman para petugas pencatat nikah apakah bisa atau tidak sebuah pernikahan dapat dilaksanakan.
·         Secara substansi aturan ini tidak menyalahi nilai-nilai atau norma yang berlaku ditengah-tengah masyarakat, bahkan masyarakat sekrang ini diera kompetitif berharap anaknya mengenyam pendidikan tinggi, ketika ada anak yang menikah diusia terlalu muda maka yang terpikir pertama kali oleh benak pasti ada apa-apanya. Padahal barangkali atas alasan cinta dan menghidari perzinahan sah-sah saja, tetapi tetap saja masyarakat sekarang menganggap menikah diusia dini bukan merupakan hal biasa mesti ada alasan tetentunya.
·         Aturan mengenai pembatasan usia kawin penting sekali agar menikah tidak dipandang hal yang mudah dilakukan, sebab menikah/kawin artinya Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawianan, “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”[4]. Sedang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia “ Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan yaitu, aqad yang sangat kuat mitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.[5] Sementara secara gambalang Prof. Khoirudin Nasution mengartikan Perkawinan secara bahasa merupakan terjemahan dari kata nakaha (berhimpun) dan zawaja (pasangan), dengan demikian dari sisi bahasa perkawianan berarti berkumpulnya dua insan yang semula terpisah dan berdiri sendiri, menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermitra.[6] Jika demikian artinya pernikahan maka seharusnya sudah banyak kelurga yang sejahtera tetapi yang terjadi sebaliknya, pernikahan dini rentan terjadinya perceraian karena belum mencapai kematang emosi.
·         Alasan terakhir mengapa aturan ini masih harus dipertahankan karena agar tercapainya prinsip-prinsip perkawinan, diantara prinsip itu adalah:
a)      Memenuhi dan melaksanakan perinth agama
b)      Kerelaan dan persetujuan
c)      Perkawinan untuk selamanya
d)     Suami penangung jawab umum dalam rumah tangga.[7]

2.      ANALISA LANDASAN DAN NILAI PEMBARUAN UU PERKAWINAN TERKAIT PERNIKAHAN DINI.
Sepertinya yang dijelaskan dimuka bahwa Undang-undang yang mengatur tentang hukum keluarga termasuk pernikahan atau perkawian merupakan suatu bentuk pembaharuan. Namun memang dalam pengamatan terbaru kita bisa melihat memang masih ada aturan terkait hukum perkawinan belum menjadi aturan secara resmi misalnya
¨      Aqad nikah melalui media elektronik, diera digital sekarang menuntut semua harus instan juga termasuk melaksanakan perkawinan, jadi tidak perlu mendatangkan calon mempelai, wali, dan saksi dalam satu majelis, yang terpenting sah-sah saja jika semua rukun terpenuhi dan kedua mempelai dan orangtua sudah pernah betemu bertemu dan sudah saling setuju. Hal ini perlu dirumuskan sah atau tidaknya.
Jika berpedoman pada landasan dalil maka menganalisa dalil mengenai ijab dan qobul harus merujuk pada pendapat mayoritas ulama, jumhur ulama berpendapat Rukun perkawinan yang menjadi sebab sahnya perkawinan ada 4 yakni: adanya kedua calon mempelai; adanya wali yang menikahkan; adanya 2 orang saksi dan iajb dan qobul (sighat nikah). Jika ijab dan qobul hanya melalui saluran telpon atau skype maka dapat dinyatakan sah jika memenuhi rukun yang ada namun memang secara nilai juga harus diperhatikan, biasanya nilai sakral dalam perkawinan maisalnya saat ijab qobul harus berjabat tangan, kedua calon mempelai dihadirkan semua harus diberikan sosilaisasi. Namun hal ini tetap harus tetap diatur didalam Undang-undang sebab agar adanya kepastian hukum, mengenai nilai-nilai yang berlaku ditengah masyarakat dapat dijelaskan jika rukun dan syaratnya terpenuhi dan dalam kondisi-kondisi tertentu.

3.      PASAL-PASAL REKOMENDASI
Untuk mengimplementasikan penjelasan dalam poin 2 dalam pembahasan ini megenai hal apa yang perlu diperbarui dari UU perkawiana, maka kami merekomendasikan pasal-pasal berikut
Mengenai Pernikahan Melalui media Elek tronik maka berlaku hal-hal berikut:
1.      Perkawinan melalui media elektronik diizikan apabila dalam kondisi berikut:
a)      Jika pihak pria dan pihak wanita sudah dalam masa pertunangan;
b)      Memenui ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2), pasal 6, pasal 7, pasal 8, dan pasal 9 Undang-undang ini  ;
c)      Perkawinan harus atas izin pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orangtua pihak pria maupun pihak wanita


BAB III PENUTUP
1.      KESIMPULAN
Telah dijelaskan dalam karya ilmiah ini bahwa dengan memperhatikan semakin maraknya pernikahan diusia dini dan tanpa izin dari pemgadilan atau pejabat yang berwenang, maka pasal-pasal terkait aturan pembatasan usia minimal kawin  harus tetap dipertahankan serta masih sangat relevan untuk kondisi sosial masyarakat sekarang ini.
Bahwa perlu adanya pembahruan dari pada UU perkawinan yang menyesuaikan dengan era digital sekarang ini, dalam hal ini penulis mengusulkan agar adanya penambahan pasal didalam UU No. 1 Tahun 1974 mengenai pernikahan melalui media digital/elektronik, bagaimana status hukumnya.
Rekomendasi pasal memegenai pernikahan melalui media digital/elektronik, merupakan upaya penulis untuk ikut berkontribusi secara aktif didalam memberikan jawaban terhadap keresahan ditengah-tengah masyarakat.
2.      SARAN
Tentu harapan penulis karya ini dapat dilanjutkan risetnya secara serius dan mendalam agar benar-benar dapat menjadi pedoman dalam pembentykan peraturan perundang-undangan.



DAFTAR PUSTAKA
1.      UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

2.      Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia
3.      Nasution Khoiruddin, Hukum Perkawian 1, edisi revisi, (Yogyakarta: ACAdeNIA+TAZZAFA),2013
4.      Ghozali, Abdul Rahman, Fiqih Munakahat, Edisi Pertama (Jakarta: Prenadamedia Group), 2003
5.      Nasution Khoiruddin,Pengantar Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia  (yogyakarta:ACAdeMIA+TAZZAFA,2010)



[1]Khoiruddin Nasution,Pengantar Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia  (yogyakarta:ACAdeMIA+TAZZAFA,2010) hal.40-43
[2] UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,BAB.II, Pasal 6
[3] Ibid, BAB.II, Pasal 7
[4] UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,BAB.I, Pasal 1
[5] Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia, BAB.II, Pasal 2
[6] Khoiruddin.N, Hukum Perkawian 1, edisi revisi, (Yogyakarta: ACAdeNIA+TAZZAFA),2013. Hal 19-20
[7] Prof. Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, Edisi Pertama (Jakarta: Prenadamedia Group), 2003. Hal 32-43

You Might Also Like

0 komentar

Pengikut

Wikipedia

Hasil penelusuran

Like us on Facebook

https://www.facebook.com/megisaputra.mmeegisaputra